Berdua Kembali

3779972119_b01a57ce53
“Kenapa kau lakukan ini? Tak yakin dengan calon istrimu?”
“Saya cuma sedikit ingin mengenang masa itu.”
“Tak akan mengubah apapun. Kembali ke jaman itu tak akan mengubah sejarah. Bagaimanapun kau tetap harus menikahinya.”
“Saya memang tetap akan menikahinya.”
“Jadi apa tujuanmu sebenarnya?”    
“Mengenang pertemuan pertama yang membuat saya jatuh cinta.”
Setelah berpikir berhari-hari, akhirnya kuberanikan diri untuk datang ke tempat ini. Sebuah gedung bioskop tua yang tiap hari kulewati di jam berangkat dan pulang kerja. Gedung bioskop di sudut perempatan jalan yang memasang poster-poster film berukuran raksasa itu. Ayahku pernah bercerita, dulu di jamannya gedung bioskop ini adalah salah satu yang terbesar dan selalu jadi tempat favorit orang-orang mencari hiburan di akhir minggu. Pasangan berbagai usia dan dari berbagai kalangan datang ke sini. Apalagi kalau yang diputar adalah film-film Rhoma Irama, kata Ayah lagi. Bisa dipastikan tiket habis terjual dan antrian loket untuk jam pertunjukan berikutnya sudah mengular. Orang-orang di masa itu sangat menanti-nantikan pertunjukan si raja dangdut yang bisa menjelma menjadi berbagai peran protagonis dalam film-filmnya itu. Penyanyi taat beribadah dan tak pernah tergoda groupies, pendekar sakti mandraguna di jaman penjajahan Belanda, suami idaman dan menantu jujur yang difitnah dan diusir mertuanya, ulama bijak tak pernah salah yang sedikit-sedikit bilang haram, dan.. ah apa yang tak bisa dilakukan Rhoma Irama di masa itu? Semua orang memuja dia, semua menganggapnya raja, dan semua menjadikannya sebagai sosok idola.
Tapi sejarah tetaplah sejarah. Seperti juga Rhoma Irama yang kini kian menurun popularitasnya, kondisi gedung bioskop ini juga sudah tak terawat dan sangat jauh dari kesan nyaman. Tak ada perempuan-perempuan cantik berseragam 21 yang selalu tersenyum ramah. Tak ada suara legendaris Maria Oentoe yang mengingatkan, “Pintu teater satu telah dibuka. Para penonton yang telah memiliki karcis..” dan seterusnya. Tak ada mesin penjual popcorn atau softdrink. Bahkan mesin-mesin video game, - satu-satunya teknologi yang masih bisa dibiilang modern - yang letaknya di salah satu sudut itu sudah tampak seperti besi rongsokan yang siap dikilokan kapan saja.
Yang tadi menyambutku di pintu masuk adalah ibu separuh baya yang konon sudah bekerja di gedung bioskop ini sejak pertama kali dibuka dulu. Kaca loket yang buram dan separuhnya tertutup papan kayu benar-benar sesuai bayanganku akan loket bioskop-bioskop jaman dulu. Di dalam ruangan kecil itu duduk seorang bapak yang rambutnya sudah memutih. Poster-poster film dari jaman entah kapan terpasang dalam bingkai-bingkai kaca yang berjejer di dinding. Di sudut yang lain, pemuda penjaga kios kecil yang menjual aneka snack, rokok, softdrink dan permen itu tampak sedang melayani pembelinya. Dua orang perempuan berbaju minim dan berdandan menor. 
Sebenarnya aku tak ingin datang ke sini. Tapi inilah kenyataannya. Sebulan lagi pernikahanku akan digelar. Semua hal, dari yang kecil sampai yang besar sudah disiapkan. Gedung resepsi, catering, kebaya, undangan, dekorasi, kelengkapan administrasi, semuanya sudah beres. Naya, calon istriku itu adalah seorang perempuan yang sangat sempurna. Dia cantik, pintar, seksi, sabar dan benar-benar memenuhi gambaran idealku akan seorang pasangan ideal. Sungguh aku merasa sebagai laki-laki beruntung bisa memilikinya. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiranku dan tak tahu bagaimana harus kujelaskan. Jika dibilang ini adalah ragu, mungkin juga benar. Tapi kalau aku ragu, mana mungkin aku berniat menikahi Naya?
“Ada orang yang bisa memindahkan jiwamu ke masa lalu,” kata Pak Lubis, satpam penjaga kantorku saat jam makan siang kemarin. “Dengan bantuannya kau bisa melihat kembali hal-hal yang pernah kau alami. Itu akan membuat kau sedikit merenung, sejenak berpikir, kemudian bersyukur atas segala yang kau dapatkan sekarang.”
“Saya tidak tertarik, Pak.” Aku menggeleng halus. “Terlalu sering menengok ke belakang membuat saya tak maju-maju.”
“Ya daripada kamu ragu dan terus jadi beban pikiran?”
“Saya tidak ragu. Saya hanya penasaran. Apa yang waktu itu membuat saya jatuh cinta?”
“Katamu dia cantik dan sempurna.”
“Benar, Pak. Tapi tak hanya itu. Asal bapak tahu, sebelum bersama Naya, saya sama sekali tak pernah merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.”
“Jujur sajalah, kau jatuh cinta karena dia cantik.”
“Pak Lubis. Saya ini fotografer. Tak terhitung sudah saya bertemu dengan perempuan cantik. Tapi cuma dengan Naya saya merasakan cinta dan perasaan ingin memiliki yang teramat sangat. Kalau prioritasnya cuma cantik dan dada besar, mungkin sudah ratusan kali saya jatuh cinta.”
“Sudahlah. Kau datang saja ke gedung bioskop itu. Jam pertunjukan terakhir. Keluarlah di tengah-tengah film, temui bapak yang berjualan tiket, lalu ceritakan semua masalahmu. Dia pasti mau membantu.” 
Sebenarnya aku tak sepenuhnya percaya perkataan Pak Lubis. Tapi kurasa tak ada salahnya mencoba. Rasa penasaran akan penyebab jatuh cinta ternyata membuatku melupakan semua itu. Seperti yang kukatakan tadi, akhirnya aku memberanikan diri datang ke tempat yang lebih mirip sarang preman ini. Membeli tiket yang harganya cuma 7500 perak, membeli sebungkus rokok, kemudian memasuki ruangan teater yang panas, pengap, penuh asap rokok, dan berbau pesing campur amis itu. Film yang diputar ternyata bukan yang posternya dipasang di luar. Ini film cina dari tahun entah kapan, aku tak pernah mendengar kabar film ini sama sekali.  Aku juga tak paham jalan ceritanya. Selain karena tak ada subtitle bahasa indonesia dan aku tak paham bahasa mandarin, gambar film yang buram dan sesekali hilang, konsentrasiku juga harus terbagi dengan usaha menyingkirkan geli di kaki akibat kecoa-kecoa dan tikus yang berseliweran di lantai. Hanya sekitar 10 menit akhirnya aku tak tahan lagi. Aku keluar dari ruang pertunjukan, lalu menemui bapak yang tadi duduk di dalam loket, kemudian menceritakan semuanya. Persis seperti yang disarankan Pak Lubis.
“Sudah siap?”
“Siap.”
Bapak itu menyerahkan sebuah liontin berbentuk burung hantu. Aku tak tahu apa gunanya. Dia hanya berpesan kalau benda ini harus terus ada dalam genggamanku sampai proses perjalanan waktuku ini selesai. Aku memejamkan mata, detik berikutnya kurasakan cahaya kebiruan menghantam tubuhku dengan keras. Pandanganku mengabur, kemudian perlahan terang dan samar-samar kulihat tempat yang sama dengan saat pertemuan pertama dengan Naya dulu. Sebuah ruang pertunjukan gedung bioskop, tempat duduk row A, dan layar yang masih menampilkan iklan. Seperti waktu itu, perempuan cantik yang nantinya kukenal bernama Naya dan akan menjadi istriku itu duduk hanya berjarak dua kursi. Aku masih ingat kejadian selanjutnya. Sebentar lagi dia akan tersenyum kepadaku, kemudian aku menawarkan duduk di sampingnya, dia mengangguk, film dimulai, dan kami sama –sama tertawa saat adegan tokoh utama film ini ditempeleng pacarnya. Kejadian-kejadian berikutnya, tak perlu kuceritakan di sini.
*
“Kenapa kau lakukan ini?” tanya bapak berambut putih yang duduk di depan loket itu. “Kau tak yakin dengan calon suamimu?”
Naya menggeleng, “Saya cuma sedikit ingin mengenang masa itu.”
“Ini tak akan mengubah apapun. Bagaimanapun kau tetap harus menikah dengannya.”
“Saya memang tetap akan menikah, Pak.”
“Jadi apa tujuanmu sebenarnya?”    
“Mengenang pertemuan pertama yang membuat saya jatuh cinta.”
Bapak itu tersenyum aneh, kemudian menyerahkan sebuah liontin burung hantu kepada Naya. “Pejamkan matamu sekarang, akan kubawa kau menemui kekasihmu.”
. . . . Sumber: entahlah. waktu saia copas dari blog sobat, saia lupa copy alamat blog-nya. setelah saia tanyain mbah google sesuai judul, ternyata nyasar ke sebuah forum. Berarti artikel aslinya dari forum tersebut kali ya?

Semoga artikel Berdua Kembali bermanfaat bagi Anda.

Apakah artikel ini bermanfaat?...Bagikan artikel kepada rekan via:

Posting Komentar

TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA