“Saudara Adam Pramudya. Ada tamu untuk Anda.” kata laki-laki berseragam itu seraya memutar anak kunci ke gembok yang melingkar di pintu sel. Penghuninya, seorang laki-laki berusia tigapuluhan, berambut gondrong acak-acakan, bertelanjang dada dan mengenakan celana jins robek, tampak sedang duduk di atas tempat tidurnya. Dia menatapku dengan pandangan tajam, namun tiga detik kemudian mengangguk dengan tegas, di bibirnya tersungging senyum ramah namun samar.
“Waktunya sepuluh menit, Pak.” kata laki-laki berseragam itu kepadaku. Aku kembali mengangguk. Dia kembali mengunci pintu sel, lalu berjalan menjauh dan menghilang dari pandanganku.
“Saya Yudhista, wartawan.” ujarku kepada lelaki di depanku. “Izinkan saya mengajukan beberapa pertanyaan. Saya harap Anda bisa bekerjasama, waktu saya tidak banyak. Oke?”
“Silakan.”
“Cerita yang Anda tulis,” ujarku sambil mulai mencatat di selembar kertas. “Sebenarnya apa yang Anda tulis sampai mereka merasa harus memenjarakan Anda di sini?”
“Kau belum membacanya?” tanyanya.
“Tidak sempat,” jawabku cepat. “Buku itu sudah keburu ditarik dari peredaran dan sekarang sulit sekali dicari. Mereka yang masih menyimpan atau pernah membacanya juga lebih memilih bungkam.”
“Oh ya? Saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti itu.”
“Tolong jelaskan saja. Apa yang anda tulis di buku itu?”
“Koran dan televisi juga tidak menyiarkan beritanya?”
“Tidak. Mereka hanya menyebutnya sebagai ‘buku terlarang’. Seorang penulis dijebloskan ke penjara setelah menulis sebuah buku terlarang, hanya itu. Mereka merahasiakan judul dan isinya.”
“Ya. Buku itu adalah novel perdana saya.”
“Novel?”
“Ya.”
“Bukan artikel, wacana politik, atau biografi tentang tokoh gerakan terlarang, yang selama ini diasumsikan oleh banyak orang?”
“Hanya novel.”
“Tentang apa?” tanyaku.
“Baik, akan kujelaskan,” jawabnya. “Tapi sebelumnya coba kau ingat-ingat, kapan terakhir kali kau membaca kisah cinta?”
“Sudah lama sekali,” jawabku. “Sejak setahun silam saya tak pernah lagi membaca kisah cinta.”
“Bagus.” tukasnya. “Sekarang coba kau ingat-ingat lagi. Ada berapa orang yang kau lihat di sepanjang koridor ini?”
“Di sini ada 22 sel bukan? 22 orang?”
“Benar, dan asal kau tahu, mereka semua dipenjara karena hal yang sama.”
“Dipenjara karena menulis?”
“Tepatnya, dipenjara karena menulis sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Sesuatu yang sangat ditakuti oleh pemerintah saat ini.”
“Tentang pemberontakan? Kudeta? Penculikan Presiden?”
“Bukan. Sama sekali bukan itu.”
“Lalu?“
“Sebuah kisah cinta,” jawabnya setengah berbisik. “Sejak setahun yang lalu, para petinggi negara ini sudah terjangkit phobia pada kisah cinta.”
“Silakan.”
“Cerita yang Anda tulis,” ujarku sambil mulai mencatat di selembar kertas. “Sebenarnya apa yang Anda tulis sampai mereka merasa harus memenjarakan Anda di sini?”
“Kau belum membacanya?” tanyanya.
“Tidak sempat,” jawabku cepat. “Buku itu sudah keburu ditarik dari peredaran dan sekarang sulit sekali dicari. Mereka yang masih menyimpan atau pernah membacanya juga lebih memilih bungkam.”
“Oh ya? Saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti itu.”
“Tolong jelaskan saja. Apa yang anda tulis di buku itu?”
“Koran dan televisi juga tidak menyiarkan beritanya?”
“Tidak. Mereka hanya menyebutnya sebagai ‘buku terlarang’. Seorang penulis dijebloskan ke penjara setelah menulis sebuah buku terlarang, hanya itu. Mereka merahasiakan judul dan isinya.”
“Ya. Buku itu adalah novel perdana saya.”
“Novel?”
“Ya.”
“Bukan artikel, wacana politik, atau biografi tentang tokoh gerakan terlarang, yang selama ini diasumsikan oleh banyak orang?”
“Hanya novel.”
“Tentang apa?” tanyaku.
“Baik, akan kujelaskan,” jawabnya. “Tapi sebelumnya coba kau ingat-ingat, kapan terakhir kali kau membaca kisah cinta?”
“Sudah lama sekali,” jawabku. “Sejak setahun silam saya tak pernah lagi membaca kisah cinta.”
“Bagus.” tukasnya. “Sekarang coba kau ingat-ingat lagi. Ada berapa orang yang kau lihat di sepanjang koridor ini?”
“Di sini ada 22 sel bukan? 22 orang?”
“Benar, dan asal kau tahu, mereka semua dipenjara karena hal yang sama.”
“Dipenjara karena menulis?”
“Tepatnya, dipenjara karena menulis sesuatu.”
“Sesuatu apa?”
“Sesuatu yang sangat ditakuti oleh pemerintah saat ini.”
“Tentang pemberontakan? Kudeta? Penculikan Presiden?”
“Bukan. Sama sekali bukan itu.”
“Lalu?“
“Sebuah kisah cinta,” jawabnya setengah berbisik. “Sejak setahun yang lalu, para petinggi negara ini sudah terjangkit phobia pada kisah cinta.”
***
Judul aslinya 'Laki-laki di Sel Paling Ujung'
Ditulis Juli 2010, diposting di blog lama Desember 2010
Diposting lagi di sini tanpa diedit sama sekali
Harap dimaklumi kalo berantakan dan mungkin banyak typo, atau kesalahan redaksional lainnya :)
Ditulis Juli 2010, diposting di blog lama Desember 2010
Diposting lagi di sini tanpa diedit sama sekali
Harap dimaklumi kalo berantakan dan mungkin banyak typo, atau kesalahan redaksional lainnya :)
Posting Komentar
TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA