[Cerpen] Di Atas KM Marisa




Matahari runtuh di ufuk barat. Dari pinggir kapal, Windu menatap bola merah jingga yang menyala itu dengan khidmat. Matanya memicing, melonggar. Menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan. Gemuruh air laut seakan menyuarakan isi dadanya yang menyimpan debar-debar rindu. Akhirnya aku pulang. Ia menahan gemas, ingin rasanya lompat dari kapal itu lalu berenang secepatnya hingga Semarang.

Hanya kepada rindu kita kembali, kata Windu. Ia percaya setiap orang yang sedang pergi pasti akan kembali lagi, dan itu hanya karena satu alasan: rindu. Tak ada sebab lain. Anak-anak SMA berangkat sekolah dan ingin segera pulang ke rumah karena rindu kamar, rindu tempat tidur. Para pria berangkat ke kantor dan ingin cepat kembali ke rumah karena rindu istri atau anak-anaknya. Kita semua lahir dari rahim ibu dan akan berpulang kepada-Nya, semata karena rindu. Semuanya karena rindu, rindu, dan rindu. Tak ada alasan lain.



Windu mengerjap-ngerjapkan matanya karena dihantam angin laut. Ia tersenyum. Semakin lama senyumnya semakin lebar, hingga menampakkan seluruh gigi-giginya. Ia ingin berteriak. Tapi tentu tak bisa karena ada orang-orang lain di sekitarnya. Jadi ia pendam saja rasa senangnya itu dalam dada. Windu selalu tak bisa menahan rasa bahagianya setiap kali melihat laut. Karena itu ia lebih memilih perjalanan laut daripada udara yang sebenarnya lebih cepat.

Menurut Windu, perjalanan menggunakan kapal laut jauh lebih menyenangkan daripada naik pesawat. Di atas kapal selama tiga hari dua malam ia bisa melakukan banyak hal. Bisa berkenalan dengan orang baru dan mendapatkan teman. Bisa menonton pertunjukan organ tunggal di kafe dalam kapal lengkap dengan goyangan aduhai para penyanyinya yang muda dan cantik. Ia juga bisa menyaksikan matahari bangun dari tidurnya dan kembali ke ranjangnya lagi: sunrise dan sunset. Ia bisa mengambil gambar yang sangat bagus dari kedua peristiwa alam paling indah itu. Dan semua itu tak bisa dilakukannya kalau naik pesawat.

Suara deburan ombak dan hamparan laut pula lah yang membuat Windu betah berada di atas kapal. Ia memang menyukai laut. Ia menyukai aromanya, suaranya, pemandangannya, segalanya. Entah karena ia berbintang cancer yang berlambang kepiting dan notabene memiliki elemen air atau karena ia memang suka dengan laut. Yang jelas Windu merasa seluruh beban dan pikirannya terlepas seketika saat ia memandangi laut. Ia seakan menyerahkan jiwa dan raganya kepada hamparan laut dan membiarkan dirinya terbawa oleh iring-iringan ombak yang bergulung-gulung dan pecah menjadi buih-buih lalu menghilang ke udara.

Windu juga suka memandangi laut karena laut seakan tak memiliki batas. Sejauh mata memandang hanya laut, laut, dan laut saja. Kalaupun ada yang menghalang paling hanya sebongkah karang, atau perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal lain. Satu-satunya pembatas hanyalah garis horisontal yang memanjang mengelilingi laut. Windu menyebutnya: kaki langit.

Kapan lagi kau bisa melihat kaki langit, hanya di laut, kata Windu kepada seorang temannya yang sering memprotesnya sebab Windu jarang sekali mau diajak naik pesawat kalau pergi kemana-mana. Kaki langit itu akan berada pada puncak keindahannya saat hari sore menjelang petang, lanjut Windu. Ia akan berkilau-kilau seakan di sana ada ribuan dayang matahari yang mendampingi raja mereka yang maha raksasa dan maha bercahaya itu. Kalau cuaca bagus dan langit sedang bersih, maka semakin menjadi-jadi lah pesona dan kemegahannya. Kau tak akan mampu mengedipkan mata dan bisa-bisa sampai lupa bernapas seperti tersirap oleh kecantikan ciptaan Sang Maha Mencipta itu.

Maka seketika itu juga, kau akan merasa kecil dan tak berdaya.

Saat masih kecil, Windu pernah berpikir untuk menjadi pelaut. Sebab dengan begitu ia bisa bergaul dengan laut. Sehari-harinya akan bertemankan laut. Ia akan mengarungi laut dari ujung satu ke ujung yang lain: andai ujung itu ada. Setiap hari menghirup aroma asin laut, mendengarkan suara buih ombak pecah dan melihat seribu dayang matahari menari di batas laut kala senja tiba, sungguh tak bisa ia bayangkan betapa bahagianya.

Tapi tentu saja orang tua asuhnya melarang keinginannya itu. “Kamu ini punya cita-cita kok ya ngawur, mbok cita-cita itu jadi dokter, pilot, tentara..”, kata ibu asuhnya. Sejak lahir Windu sudah ditinggal “pergi” oleh kedua orangtuanya dan diasuh oleh sepasang kakek-nenek yang waktu itu menemukannya di depan pintu rumah mereka dalam keadaan terbungkus kain dan terbaring di dalam kotak kardus mi instan. Windu tidak ditinggal “pergi” meninggal, melainkan dibuang. Ia sudah mengetahui kenyataan tersebut, yang menurut orang lain tentu saja adalah sebuah kenyataan pahit yang dapat menimbulkan rasa dendam dan benci terhadap “mantan” orang tuanya. Tapi tidak, Windu sama sekali tak benci kepada orang tuanya yang telah membuang dirinya. Ia sudah menerima dan melupakan hal itu. Sebab rasa kasih dan sayang kedua orang tua asuhnya terlampau besar kepadanya, mengalahkan rasa sakit hatinya terhadap kedua orangtua biologisnya yang tak bertanggung jawab itu.

Windu yang juga sangat menyanyangi kedua orangtua asuhnya yang sudah renta itu, menurut dan mengikuti kata-kata ibu asuhnya. Ia sekarang sudah menjadi seorang dokter. Bahkan cukup dikenal di Jakarta. Sudah setahun setelah lebaran terakhir ia belum bertemu lagi dengan kedua orang tua asuhnya. Ia sibuk bekerja di Jakarta dan kemarin ia menghabiskan waktu liburannya di Pontianak. Seorang teman merekomendasikan tempat tersebut sebab ia tahu Windu memiliki ketertarikan terhadap pengobatan alternatif. Dan di Pontianak masih terdapat suku yang primitif dalam arti masih melakukan metode-metode pengobatan yang kuno dan jauh dari teknologi medis yang sekarang sudah kian canggih.

“Bagaimana pun, yang datang langsung dari alam itu lebih sehat. Aku bahkan nggak pernah lho pakai obat yang kusarankan untuk pasienku sendiri.” Kata temannya itu yang juga seorang dokter sepertinya, sambil tertawa kecil.

Alam. Ah, ia terpesona lagi akan satu kata itu. Pikirannya kembali lagi ke hamparan air berwarna biru, semakin jauh warnanya semakin pekat. Dan perasaan rindunya semakin melekat. Ayah dan ibu asuhnya pasti sekarang sedang cemas menunggu kedatangannya. Ia akan memberikan kejutan dengan terlambat satu malam tiba di Semarang. Seharusnya ia sudah sampai malam kemarin, tapi ia berbohong kepada kedua orang tua asuhnya itu. Pasti mereka sedang sedih dan kecewa, batin Windu. Dan saat mereka merasa putus asa menungguku, aku akan muncul tiba-tiba di depan mereka dan mereka akan terkejut sembari menitikkan air mata bahagia. Aku sendiri akan menitikkan air mata haru.

Ah..

Langit sudah gelap. Sang raja cahaya sudah kembali ke ranjangnya, digantikan oleh ratu cahaya. Ratu cahaya malam ini tak kalah menawan. Ia seakan sudah menyiapkan diri selama seharian untuk menyaksikan Windu bertemu dengan yang dirindu-rindukannya. Ia purnama. Cantik sekali, bisik Windu kepada dirinya sendiri. Senyumnya terbentuk sekali lagi. Ah, ayah, ibu.. aku tak akan mengecewakan purnama sang ratu cahaya, aku akan buat ia menangis bersama kita. Aku rindu ayah dan ibu. Rindu sekali.

Kapal sudah selesai menepi dan Windu melangkahkan kaki. Bersama barang bawaannya yang tak begitu banyak-hanya tas punggung dan dua kantong plastik kecil berisi buah tangan-ia turun dan keluar dari kapal. Di antara kerumunan orang ia gesit memindah-mindahkan arah pandangannya untuk mencari tetangganya yang sudah ia hubungi untuk minta tolong menjemputnya di pelabuhan.

Gayung pun bersambut, ia melihat seseorang melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Ia bergegas menghampiri orang tersebut.

“Mana ayah dan ibu?” tanya Windu.

“Aduh.. bagaimana ya ngomongnya.” Wanita itu terlihat gugup dan menyikut seorang pria di sebelahnya. Mereka sepasang suami-istri, tetangga Windu yang sesekali juga dimintai tolong oleh Windu untuk menjaga orang tua asuhnya.

“Ibu dan bapak.. rupanya mereka tak sabar ingin bertemu denganmu. Mereka menunggumu nyaris seharian dan tak bisa menahan lebih lama lagi. Aku sudah bilang kepada mereka untuk bersabar saja karena kau pasti pulang. Tapi ketika aku dan istriku pamit pergi untuk urusan pekerjaan, ternyata mereka berdua diam-diam pergi ke pelabuhan.” Kata si pria.

“Lalu?” jantung Windu mendadak sprint, seakan dikejar atau mungkin mengejar sesuatu dengan sangat cepat.

“Ya, kamu tahu mereka sudah tua. Ibumu nggak boleh sekali cemas karena jantungnya sudah kurang sehat, dan saat itu ia merasa sangat cemas karenamu. Sementara bapak juga nggak kuat kakinya dan setelah menunggu berjam-jam, ia jatuh pingsan. Ini kami dengar dari orang-orang di sekitar pelabuhan yang menyaksikan mereka berdiri terus memandangi laut seakan menunggu sesuatu yang teramat penting dan tak boleh terlewatkan.”

Windu memandangi pria itu, berharap ia segera meneruskan ceritanya.

“Mereka berdua sekarang ada di rumah sakit dan sedang dirawat intensif.”

Windu menghela napas. Dalam. Entah lega atau gelisah.

Sementara itu di pelabuhan ia tak mendengar ada gemuruh debur ombak. Tak ada kemegahan sang raja cahaya. Tak ada kemilau ribuan dayang matahari. Hanya gemerisik buih yang terlihat sedih. Dan purnama sang ratu malam yang terdiam. Semuanya mengekalkan sunyi. Laut hanya hitam. ***
. . . . Sumber: entahlah. waktu saia copas dari blog sobat, saia lupa copy alamat blog-nya. setelah saia tanyain mbah google sesuai judul, ternyata nyasar ke sebuah forum. Berarti artikel aslinya dari forum tersebut kali ya?

Semoga artikel [Cerpen] Di Atas KM Marisa bermanfaat bagi Anda.

Apakah artikel ini bermanfaat?...Bagikan artikel kepada rekan via:

Posting Komentar

TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA