[Cerpen] Pak Gatot




Aku menendang terlalu keras hingga bola keluar lapangan dan membentur seseorang yang tengah lewat di jalan. Orang tua itu mengambil bola lalu tersenyum ke arah kami. Seorang temanku berteriak, “lariiiii!”

Tak tahu apa yang terjadi, aku memutuskan untuk ikut lari saja bersama teman-temanku yang lain. Mereka berlari begitu cepat, aku nyaris tak bisa mengimbangi. Sampai di teras musholla, aku bertanya kepada teman-temanku. “Hei, kenapa pula kalian lari macam dikejar setan begitu?” Temanku yang tadi berteriak ‘lariii!’ menjawab. “Tak tahukah kau, itu Pak Gatot. Orang gila!”



Orang gila? Seingatku tak ada orang gila di kompleks ini. Palingan hanya Isabella, perempuan yang suka mondar-mandir di pasar pakai daster dan senang berteriak ‘tolong! tolong!’ sambil tersenyum-senyum aneh. Atau seseorang bernama Ismail yang beberapa hari lalu muncul di kompleks mengenakan baju ihram dan memamerkan ‘anu’nya ke setiap orang yang ia temui. Dan setahuku tadi orang tua itu hanya mengambilkan bola sambil tersenyum kepada kami. Lagipula apa ada orang gila pakai seragam pegawai pertanian, seperti ibuku? Berarti ibuku juga orang gila, donk? Gila apa.

“Gimana bisa kau bilang orang tua itu gila?” tanyaku lagi.

“Kau ini macam tak tau saja, semua orang juga bilang begitu, Pak Gatot itu gila!” jawab temanku yang tadi.

“Dia suka mendekati anak-anak lalu membujuk kau biar ke rumahnya.” tambah temanku yang lain.

“Kalau kau sudah di rumahnya, kau akan diiming-imingi permen atau duit seribu, lalu kau disodomi!”

Astaga, sodomi? Ternyata orang gila masih punya keinginan seks juga, baru tahu aku. Bukankah orang gila itu akalnya sudah tidak beres, tapi apakah dia masih punya nafsu begituan juga? Ah entahlah, kenapa kupikirkan pula.


* * *


Malamnya aku bertanya kepada ibuku tentang Pak Gatot. Ia buru-buru menjawab, “eh tak usah dekat-dekat orang itu, dia gila!” Aku heran sendiri, apa aku yang gila karena sepertinya hanya aku yang tak merasa ada yang aneh dengan orang tua bertubuh jangkung itu. Dia tak tertawa-tawa atau berteriak-teriak sendiri. Dia juga berpakaian rapi dan berlaku wajar, setidaknya sepenglihatanku. Satu-satunya yang jadi perhatianku hanya kebiasaannya tersenyum, baik kepada orang maupun tak. Orang tua itu selalu saja tersenyum. Seperti selalu merasa bahagia.

Keesokan harinya aku pulang sekolah bersama teman-temanku. Kami pulang lewat jalan belakang yang tembus hingga kantor ibuku. Dari jarak yang tak begitu jauh kulihat Pak Gatot. Ia sedang menenteng-nenteng buku. Aku menyuruh teman-temanku pulang duluan tanpaku. Ada yang ingin kulakukan, kataku.

Aku pun berjalan mencari tempat yang tepat untuk ‘memata-matai’ Pak Gatot. Apa saja yang orang tua ini kerjakan saat di kantor. Ternyata ia berjalan masuk ke perpustakaan. Pintu perpustakaan tetap terbuka dan ia duduk di sudut yang memungkinkan aku melihatnya dari jarak yang cukup aman. Ia sedang membaca. Terlihat begitu khusyuk. Tak ada yang aneh, menurutku. Ah, sudahlah, perutku mulai keroncongan dan kukira tak ada gunanya mengintai orang gila.

Tapi tetap, aku masih berpikiran bahwa Pak Gatot itu bukan orang yang gila. Mana ada orang gila yang membaca buku.


* * *


“Bu, aku pergi main bola dulu ya!” kataku sambil bergegas keluar rumah dan menemui teman-temanku.

Kami memang senang bermain bola. Hampir setiap sore. Tapi sejak Pak Gatot sering melintas di jalan dekat lapangan, kami jadi jarang bermain lagi karena takut. Sebenarnya mereka saja, teman-temanku itu, yang takut. Aku sih tidak. Sore ini kami berani untuk main di lapangan lagi sebab temanku bilang Pak Gatot beberapa hari belakangan sudah tak pernah lewat situ. Bahkan tak pernah lagi terlihat mondar-mandir di kompleks.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih tapi panas matahari masih seperti tengah siang bolong. Menyengat sekali. Membuat kami mandi keringat dan lekas haus.

“Hei kalian mau minum tak, kita ambil tebu yuk.” kata seorang temanku.

“Di mana?” tanyaku.

“Sana, dekat kebun Pak Haji.”

“Hah, di situ kan dekat rumah Pak Gatot.” sahut temanku yang lain. “tebunya juga punya dia.”

“Tak apalah, kita kan cuma ambil tebunya. Setelah dapat kita langsung lari. Mantap?”

“Hati-hati saja kau, begitu tertangkap, habislah masa depanmu. Madesu! Ha ha ha..”

“Ah, tak lah..”, kata temanku mengakhiri perbincangan.

Kami pun beranjak dari lapangan dan berjalan menuju tempat yang dimaksud. Dengan hati-hati temanku mendekati tanaman tebu. Aku sendiri merasa cemas. Ini tak baik, pikirku. Kulihat temanku itu memilih-milih batang tebu yang cukup gemuk sebelum ia memukul jidatnya dengan sebelah tangan.

“Astaga, tak ada yang bawa pisau kah?” katanya.

Aku menggeleng, yang lain juga. Tiba-tiba terdengar suara yang berat. Kami terperanjat.

“Ini, pakai. He he he..”

Seorang temanku sampai tercekat napasnya saking terkejut. Mampuslah, Pak Gatot. Ia memergoki kami tengah berkutat dengan tebu-tebunya. Kami segera membalikkan badan dan bersiap mengambil langkah seribu.

“Eh, eh.. Sini!” Pak Gatot berseru. Kami menoleh lagi ke belakang. “Sinilah, jangan takut.”

Kami saling melihat satu sama lain. Bertukar pandangan, bertukar cemas. Aku menoleh lagi ke orang tua itu, dan akhirnya memutuskan untuk melangkah menghampirinya. Teman-temanku mengikuti di belakang sambil berbisik. “Gila ya kau, mau disodomi ya.” Aku tak mendengarkannya.

“Mau ambil tebu? Ini pakai. He he..”, kata Pak Gatot seraya menyodorkan sebilah pisau kepadaku.

“Oh, tidak pak.” Aku menjawab, sedikit gugup.

“Begitu ya. Kalian pasti lah haus. Ayo sini, masuk. He he he..”, katanya lagi. Ia selalu terkekeh.

Kami mengikutinya juga masuk ke dalam rumahnya. Ia mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Sambil terkekeh-kekeh ia permisi ke belakang untuk mengambilkan minum. Ruang tamunya sangat sederhana, rumahnya juga. Sempit dan beraroma kambing. Di sebelah rumah ini memang ada kandang kambing, milik Pak Haji. Aku mencoba bernapas senyaman mungkin. Tapi sulit karena aroma kambing sudah bercampur sedemikian rupa dengan keringat yang mengucur dari tubuh kami dan bau matahari.

Seperti biasa saat baru masuk ke rumah orang, aku selalu melemparkan pandangan ke seluruh sudut. Di salah satu sisi dinding terpajang sebuah foto lengkap dengan bingkainya. Sepertinya foto yang diambil bertahun-tahun lalu, sebab warnanya sudah pudar dan kusam, selayaknya foto tua. Seorang pemuda berdiri dengan gagah dalam foto itu. Mengenakan seragam yang menurutku adalah seragam militer. Tentara, mungkin. Di sebelahnya terpajang sebuah bingkai lain, namun tak berisi foto, melainkan piagam. Aku memicingkan mata untuk membaca tulisannya. Agak sulit karena di beberapa tempat tintanya sudah pudar. Aku hanya sempat membaca tulisan yang tercetak tebal dan berukuran lebih besar dari yang lain: PIAGAM PENGHARGAAN.

Pak Gatot kembali ke ruang tamu dengan membawa baki. Di atasnya beberapa gelas berisi air sirup merah dan setoples biskuit.

“Ha, minumlah dulu. He he he..”, katanya setelah meletakkan baki tersebut di atas meja beling. Ia duduk di sebuah kursi rotan. Tersenyum-senyum.

Setelah terheran-heran dan sedikit malu dengan tingkah teman-temanku yang langsung berebut gelas dan meneguknya bak saudagar di tengah kering kerontangnya padang pasir tanpa setetes pun air, aku membuka mulut dan bertanya kepada Pak Gatot. Beberapa hal mulai dari kegiatannya sampai masa lalunya, yang dari tadi membuatku penasaran. Sebab foto tua yang terbingkai dan terpajang rapi di dinding itu tak salah lagi adalah dia. Pemuda dengan seragam tentara itu. Aku sempat mendelik ke piagam di sebelahnya dan membaca sebuah nama: Gatot Subroto.

Maka sambil ter-‘he he he..’ sekali, Pak Gatot pun mulai bercerita.

Intinya, ia membenarkan dugaanku bahwa memang dulu ia adalah seorang pejuang. Setelah pensiun dan lewat usia, ia menetap di kompleks pertanian ini. Namun seiring pergantian kepala balai ia pun mulai dilupakan. Walaupun ia masih diperbolehkan bekerja di kantor (yang sama dengan kantor ibuku juga) ia sebenarnya tak memiliki pekerjaan apa-apa. Paling hanya membersihkan perpustakaan atau dapur. Sisa waktunya ia habiskan untuk membaca buku. “Nggak bisa ngapa-ngapain lagi, ya begini inilah. He he he..”, katanya memamerkan giginya yang putih dan terlihat masih kokoh. Kuperhatikan lagi, tubuhnya sangat kurus, berbeda dengan yang di foto, tegap dan berisi.

Saat aku bertanya kenapa dia hidup sendiri, ia menjawab tak punya keinginan untuk beristri. Lagipula mana ada yang mau dengan saya, katanya. “Sudah tua renta dan tak berharta, dikira gila pula. He he he..”

Setelah merasa cukup berbincang-bincang dan azan magrib berkumandang, kami pun pamit kepada Pak Gatot. Ia menyuruh kami menunggu sebentar lalu ia pergi ke belakang dan kembali dengan beberapa kantong kresek kecil. Dengan lekas dipindahkannya biskuit dalam stoples ke dalam kantong-kantong tersebut sampai seisi stoples kosong. Diserahkannya kepada kami sambil tak lupa tersenyum dan terkekeh-kekeh.


Di tengah jalan pulang, bersama sebatang tebu dan sekantong biskuit, aku berpikir dan menyadari sesuatu. Aku tiba-tiba saja merasa khawatir dengan diriku sendiri. Dengan nasibku kelak. Kalau seorang veteran dan pejuang terhormat seperti Pak Gatot saja pada masa tuanya hanya jadi orang yang dianggap gila dan tak berguna, aku yang belum tamat sekolah dan tak tentu mimpinya ini akan dianggap dan diperlakukan seperti apa nantinya?

Ah, yang penting dugaanku benar, Pak Gatot bukanlah orang gila. Orang-orang itu yang gila. He he he..


. . . . Sumber: entahlah. waktu saia copas dari blog sobat, saia lupa copy alamat blog-nya. setelah saia tanyain mbah google sesuai judul, ternyata nyasar ke sebuah forum. Berarti artikel aslinya dari forum tersebut kali ya?

Semoga artikel [Cerpen] Pak Gatot bermanfaat bagi Anda.

Apakah artikel ini bermanfaat?...Bagikan artikel kepada rekan via:

Posting Komentar

TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA