Menculik Pengantin Wanita
Sekarang jam sebelas lewat sebelas menit, mendekati tengah malam dan tak lama lagi coffee shop ini akan tutup. Semua pengunjung sudah pulang, tapi aku dan kamu masih duduk di meja balkon lantai tiga, tempat favoritmu sejak dulu. Dari tempat ini biasanya kamu katakan padaku “Langitnya keren,” “Lihat deh bulannya,” atau “Bintangnya lucu ya?”
Aku hanya tersenyum, takjub dengan jalan pikiranmu yang seringkali aneh, lucu, dan sedikit over romantis itu.
Dulu hampir tiap malam minggu kita ke tempat ini. Kita berdua adalah penggila kopi. Kamu pernah bilang tak bisa berpikir dan bekerja tanpa minum kopi. Akupun demikian. Bedanya, aku penggemar kopi panas, sementara kamu lebih suka kopi dengan tambahan es. Aku lebih suka Espresso atau kopi pekat, kamu lebih suka kopi dengan rasa ringan dan dominan rasa coklat, susu atau karamel. Kita punya kesamaan dalam banyak hal, kecuali kopi. Itu yang banyak orang bilang tentang diri kita.
“Ingat lagu yang dulu selalu kita nyanyikan di sini?” Tanyamu sambil menyesap Caramel Macchiato yang tersisa setengah.
“Pandangi Langit Malam Ini, Jikustik?” Jawabku.
“Ah, kamu masih ingat rupanya.”
“Pandangi Langit Malam Ini, Jikustik?” Jawabku.
“Ah, kamu masih ingat rupanya.”
“Bila kau rindukan aku puteri
Coba kau pandangi langit malam ini
Bila itu tak cukup mengganti
Cobalah kau hirup udara pagi, aku di situ..”
Coba kau pandangi langit malam ini
Bila itu tak cukup mengganti
Cobalah kau hirup udara pagi, aku di situ..”
Aku menyanyikan lagu itu pelan, lalu kamu ikut bersenandung.
“Dulu kita berjanji, akan menyebut nama bintang itu saat kita saling rindu bukan?” Tanyamu.
“Benar, aku juga masih ingat namanya.” Jawabku.
“Siapa?”
“Sirius. Artinya bintang paling terang. Dan kitab suciku menyebutnya Syi'ra. ”
“Benar, aku juga masih ingat namanya.” Jawabku.
“Siapa?”
“Sirius. Artinya bintang paling terang. Dan kitab suciku menyebutnya Syi'ra. ”
Kamu tertawa kecil.
“Setelah semua ini, kau masih akan merindukanku?” Tanyamu.
“Tentu saja. Bukankah rindu tak kenal waktu? Dan aku masih punya cukup waktu untuk menyiapkan semuanya.”
“Menyiapkan apa?”
“Senjata untuk membunuh calon suamimu besok pagi.” Kelakarku.
“Tentu saja. Bukankah rindu tak kenal waktu? Dan aku masih punya cukup waktu untuk menyiapkan semuanya.”
“Menyiapkan apa?”
“Senjata untuk membunuh calon suamimu besok pagi.” Kelakarku.
Kamu terdiam, pelan-pelan berdiri dari tempat dudukmu, lalu meraih pergelanganku, “Antar aku pulang sekarang,” Katamu manja.
Lampu-lampu coffee shop mulai dimatikan satu persatu. Aku dan kamu berjalan menuruni tangga. Dari iPod barista di meja kasir, suara pelan Ariel Peterpan memenuhi seluruh ruang pendengaranku.
“Berjalanlah walau habis terang
Ambil cahaya cinta, kuterangi jalanmu
Di antara beribu lainnya
Kau tetap, kau tetap, kau tetap benderang..”
***Ambil cahaya cinta, kuterangi jalanmu
Di antara beribu lainnya
Kau tetap, kau tetap, kau tetap benderang..”
. . . . Sumber: entahlah. waktu saia copas dari blog sobat, saia lupa copy alamat blog-nya. setelah saia tanyain mbah google sesuai judul, ternyata nyasar ke sebuah forum. Berarti artikel aslinya dari forum tersebut kali ya?
Semoga artikel Menculik Pengantin Wanita bermanfaat bagi Anda.
Artikel terkait Menculik Pengantin Wanita
Label:
Kumpulan
Posting Komentar
TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA