Sajak Di Ujung Telepon

Ketika suaramu menggaung di ujung telepon
Gundah kini hanya sayup nadamu yang memohon
Meski benakku membenci
Sebenar-benarnya hati tak kuasa dustai diri
Hardi
Bila kiranya kau sepenuhnya mengerti
Aku
Hanya dengan tangisan di ujung telepon ini
(Yogyakarta. 2008. 25 Agustus, setelah telepon keparat ini kubanting ke lantai!)
Sajak itu dengan konyolnya aku tulis, pula sambil menangis. Begitu ingin kutusuk-tusuk mata dengan jemariku agar henti mereka punya air mengalir. Bukan tak punya peri-diri-sendiri, tapi aku tak biasa begini. Aku tak biasa menangisi orang. Tak kutangisi ketika ayahku sekarat, tidak pula ketika selanjutnya ia mati. Tak kutangisi ibu dan adik-adikku yang hangus terbakar ketika empat tahun lalu rumah kami dilalap api. Pantang pula kutangisi diriku sendiri ketika terseok-seok di tepi jalan mencari sesuap nasi bungkusan bekas untuk makan.
Bertahun-tahun aku mencecap pahitnya hidup, tidak sedetikpun mataku ini menetes air. Hingga kini pun masih kudebam hati agar tidak ia luluh, tapi Hardi meredamnya dengan berliter-liter peluh. Dengan tampangnya yang kini lusuh ia buat hatiku luluh. Dengan matanya yang teduh ia buat sejuk tatapanku yang marah.
Semuanya berawal dari telepon sialan itu. Telepon yang kubeli dengan menyicil dan kusuapi pulsanya dengan mencuri-curi dari teman kerja. Telepon yang membuatku mengenal Hardi, yang membuatku benci Hardi, hingga yang membuatku cinta mati dengan lelaki menyebalkan itu, yang bahkan tidak sekalipun pernah wajahnya kutahu, hanya suaranya yang rendah kudengar merdu, lewat telepon brengsek itu.
“Aku ingin beri tau satu hal.”
“Apa?”
“Aku tidak tau harus mulai dari mana.”
“Katakan saja, dan cepat. Jangan bertele-tele.”
“Begini, aku ingin bicara padamu, tapi aku bingung.”
“Kau tau aku tidak suka basa-basi! Cepatlah!”
“Sejak itu aku sudah ingin memberitahukannya padamu, tapi aku ingin menemukan waktu yang
tepat.”
“Kau mulai membuatku kesal. BICARALAH, CEPAT!”
“Aku tidak tau apa yang kurasakan, mungkinkah juga kau rasakan.”
“Aku tidak punya banyak waktu, kalau kau tidak langsung kepada intinya akan kumatikan
telepon ini!”
“Humm…”
“CEPATLAH, BODOH!”
“Aku cinta padamu, Jun.”
“HAH?!”
Percakapan itu adalah percakapan terakhirku dengan lelaki keparat itu, setidaknya sangat kuharap begitu. Aku merasa rugi menghabiskan waktuku untuk mencintainya. Sungguh, seandainya bisa, ingin kutelepon lagi dia, kujulurkan tanganku lewat gagang telepon hingga muncul di gagang teleponnya, lalu kucekik lehernya hingga mampus. Hingga ia tidak bisa lagi berbicara denganku lewat telepon brengsek ini. Hingga ia tidak lagi bisa bernyanyi untukku. Hingga ia bisa mengingat dengan benar namaku, agar ia tau ia menyatakan cinta kepada orang yang keliru, yang bukan ia maksud, bukan diriku.
“Maaf, Ray! Kukira kau…”
“JUNI?!”
“Bukan, maksudku…”
“SIAPA? LITA?!”
“Maaf, maaf, aku tidak tau kalau aku…”
“Apa? Salah sambung? HAH?!”
“Maaf Ray, aku tidak bermaksud untuk…”
“Menyakiti hatiku?! Selamat, kau sudah berhasil, bahkan hingga menjebolnya sampai runtuh berserakan!”
“Sumpah! Aku tidak ingin menyakitimu Ray.”
“Lalu apa sekarang? Kau sudah membuatku menangis, BODOH!”
“Hah? Kau menangis, Ray?!”
Sialan! Mulutku satu ini tak mau menahan diri. Aku bahkan tak merasa otakku beri perintah untuk lidah ucapkan itu. Kini aku benci diriku sendiri, meski tidak mengalahkan benciku pada Hardi. Membukit, tidak, menggunung sudah kesalku campur satu amarah. Berapa lama sudah ia kenal aku hingga namaku di phonebook nya pun ia lupa. Sampai gosip-gosip murahan itu pun menunjukkan kebenarannya tanpa sejenakpun terbersit aku duga.
Lelaki berkacamata yang sekilas terlihat lugu itu terkabar punya banyak kenalan maya. Karena aku tak pernah merasakan hatiku berdebar begitu kencang setiap kali mendengar suaranya di gagang telepon bagai mendesah di telingaku, maka kututup mata dan telinga atas suara-suara orang lain. Aku hanya ingin menikmati suara Hardi, hanya suaranya. Aku bahkan sudah merasa cukup mendengar sepatah-dua patah katanya lewat telepon hingga aku tak pernah berniat untuk meminta lebih, bertemu dengannya. Aku sudah cukup bahagia mencintainya lewat suara. Lewat gelombang yang mengalir dari ujung ke ujung telepon melalui udara.
Tapi apa yang kuperoleh, bahkan kata kecewa pun tidak cukup untuk menggambarkan rasa yang kualami. Lebih dari itu, aku mulai merasa bahwa aku tidak pernah mengenalnya. Tentu saja, aku kan tidak pernah melihatnya, apalagi bertemu langsung dengannya. Bodohnya aku!
Perlahan aku mulai mengutuki diriku sendiri. Yang terlalu percaya pada suara yang merdu, suara milik Hardi yang tidak pernah dengan nyata kutemui.
“Aku ingin mengatakan satu hal.”
“MAU NGOMONG APA LAGI! TIDAK ADA LAGI YANG PERLU DIBICARAKAN!”
“Maafkan aku, kumohon. Aku ingin bilang, aku cinta kamu, RAY!”
Beberapa menit lalu aku sudah bilang pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mendengar apapun lagi yang diucapkan Hardi. Sudah cukup jelas hubungan kami oleh percakapan salah sambung tadi. Hampir setahun berhubungan dengannya, bahkan aku tidak pernah berani bermimpi ia katakan cinta padaku.
Tapi tidak kusangka, Hardi dengan beraninya juga mengucapkan itu kepadaku. Benar-benar kepadaku, tidak kepada Juni, bukan kepada Lita, atau siapapun lainnya. Ia benar-benar sadar dan benar bahwa yang sedang diteleponnya itu aku, ia mengucapkan itu untukku, ditujukannya padaku.
Untuk sesaat aku lupa akan percakapan di telepon yang membuat hatiku remuk itu. Aku tidak ingat bahwa saat itu Hardi menyatakan cinta, bukan padaku, tapi pada seseorang yang disebutnya ‘Jun’. Aku tau pasti ia tidak salah menyebut nama, ia hanya salah menghubungi nomor. Dan kesalahan konyol itu yang membuat semuanya berantakan. Tidak semuanya, sebenarnya, tapi hanya aku. Dan Hardi, entah setan apa yang merasukinya, masih berani menyatakan cinta padaku. Hal yang memang selama hampir setahun ini aku tunggu-tunggu, aku damba-damba. Entah apa maksud Hardi, apa ingin memperbaiki salah, apa ingin menambah masalah. Karena setelah itu, entah setan apa pula yang merasukiku, aku mengatakan kalimat yang sama, kepada Hardi, sambil menangis konyol.
Aku tak menyangka, ternyata bahwa cinta itu buta memang benar adanya. Setidaknya sudah kubuktikan lewat telepon sialan ini. Hardi buta hingga lupa namaku di memori teleponnya, aku buta sudah mempercayai hatiku padanya lewat teleponku.
Kami lupa, bahwa cinta itu buta dan membutakan.
Akan kusobek sajak konyol ini, membuatku terlihat cengeng saja.
. . . . Sumber: entahlah. waktu saia copas dari blog sobat, saia lupa copy alamat blog-nya. setelah saia tanyain mbah google sesuai judul, ternyata nyasar ke sebuah forum. Berarti artikel aslinya dari forum tersebut kali ya?
Semoga artikel Sajak Di Ujung Telepon bermanfaat bagi Anda.
Artikel terkait Sajak Di Ujung Telepon
Sastra
- Fakta-Fakta Seputar Kurikulum 2013
- Coordinating Conjunctions
- Pengertian & Contoh Correlative Conjunction
- Tanpa Sadar, Aku Menolongnya Hidup
- Sheila
- “GITAR FLAMBOYAN”
- Menunggu bintang Terang
- +Tanpa Suara+
- Beri Aku Waktu
- Tercipta Untukmu
- Cantik
- Wajah
- #cerpenpeterpan permintaan maafku...?
- cerita sahabat #cerpenpeterpen
- Luna Bukan Kopaja
- num lock
- Sms anak alay sama orang tua
- saya dulu cowok ganteng satu sekolah
- Tagging Nama di Facebook Bisa Berakibat Panjang
- Aku Ingin Mencintai dan Melupakanmu dengan Sederhana
- Seingatku Kita Pernah
- Buka Puasa Saja
- Sahur Kami Saja
- Logika Tak Suka Cinta
Label:
Sastra
Posting Komentar
TERIMAKASIH KOMENTAR ANDA